Selasa, 27 Desember 2011

KEMINDERAN PANGKAL KEMUNDURAN

            Di tahun 1974, Profesor Koentjaraningrat pernah menulis dalam bukunya : Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, mengenai perbedaan mentalitet (=mentalitas) antara orang Jepang dengan orang Indonesia. Buku tersebut memang lahir di masa Orde Baru dan dilatarbelakangi kepentingan politik pemerintah RI yang sedang berusaha mencari model yang sesuai dalam rangka pembangunan. Lepas dari wacana pembangunanisme Orde Baru, tulisan Koentjaraningrat tersebut masih terasa relevan saat ini. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa ada salah satu ciri perilaku orang Jepang yang diduga kuat dapat mendukung efisiensi secara ekonomis. Perilaku inilah yang dipercaya dapat membangkitkan ekonomi bangsa Jepang sekaligus menghindarkannya dari korupsi. Orang Jepang akan merasa sangat malu bila dipuji atau dikomentari mengenai betapa bagus atau mahalnya benda yang ia kenakan. Misalnya saja ketika memakai baju baru, orang Jepang akan sangat malu bila dikomentari : “Wah, bagus banget bajumu. Pasti mahal sekali, ya?” Bagi mereka, amat memalukan bila ketahuan bahwa baju yang mereka pakai berharga mahal. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, orang Indonesia rata-rata justru amat senang dan bangga bila dipuji betapa mahal dan bagusnya baju yang ia kenakan. Mungkin bahkan bagi sebagian orang, tanpa diminta dia akan menambah-nambahi dengan info lain demi menambah “kedahsyatan” barang yang dipakainya tersebut.

FOOD, FUN, DAN FASHION
            Dari uraian di atas, barangkali inilah yang menyebabkan betapa di era pertengahan 90-an arus globalisasi demikian deras masuk ke negara kita. Dalam buku yang sangat terkenal : Megatrends 2000, Patricia Aburdene dan John Naisbitt telah menyatakan bahwa globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang akan dihadapi dunia pada milenium ketiga. Pelaku utama globalisasi adalah pengendali ideologi yang dominan yang saat ini dikuasai Kapitalisme, terwujud dalam negara adidaya Amerika Serikat dan juga negara-negara Eropa. Globalisasi tersebut akan datang antara lain dengan tiga senjata andalannya yang berupa 3F yaitu : Food, Fun, dan Fashion. Tiga hal ini merupakan kata kunci untuk menggambarkan betapa globalisasi hadir dengan membangkitkan hasrat konsumtif – yang konon banyak dimiliki orang Indonesia – klop dengan mentalitas orang Indonesia.sesuai pernyataan Koentjaraningrat.
            Food, makanan/ hidangan. Globalisasi akan menjadi sarana penyatuan selera dan citarasa dalam hal yang berkaitan dengan makanan. Tengoklah bagaimana Mbak Mimin di Malioboro yang menyantap burger, sama dengan Mimi Roger di Amerika Serikat, The Malboro Country. Sebagai dampaknya, makanan lokal lambat laun dapat tersingkir, terstigma sebagai makanan ndeso yang berbeda kelas dengan makanan global.
            Fun, hiburan. Apa yang dianggap sebagai hiburan di negara biang (Kapitalis), menjadi hiburan pula bagi orang di belahan dunia lain. Lihatlah bagaimana demam Spongebob Squarepants serta Dora The Explorer beberapa waktu lalu, yang demikian memukau anak-anak negeri ini, hingga memunculkan merchandise-nya dimana-mana. Atau demam Smack Down yang berakhir dengan demikian tragis dan menelan banyak korban. Bahkan baru-baru ini, diberitakan adanya seorang anak usia 9 tahun yang tega membunuh bocah lain yang berumur 4 tahun dengan cara yang sangat sadis. Menurut psikiater yang memeriksa anak tersebut, perilaku sadisnya diilhami berbagai tayangan kekerasan di televisi termasuk diantaranya tayangan Smack Down (Indosiar, 8/12/06). Atau bahkan hiburan yang sangat sarkastik seperti rekaman skandal sex tokoh politik dengan pola meniru seperti yang terjadi pada Bill Clinton, Britney Spears, dan Jessica Simpson di AS sana.
            Fashion. Tren fashion merupakan bagian yang sangat penting dalam globalisasi. Perhatikan bahwa pada setiap pergantian tahun, selalu ada penentuan tren warna apa yang akan menjadi kecenderungan fashion yang akan datang. Tren ini menjadi acuan dunia fashion secara internasional. Globalisasi melalui fashion meniscayakan persamaan selera berbusana antara seorang gadis di Paris van Java dengan seseorang di Paris Eropa.
            Ujung dari 3F adalah homogenitas kultural yang sekaligus mengokohkan legitimasi budaya (yang dianggap) unggul dari negara adikuasa. Dalam kata lain, sesungguhnya telah terjadi penjajahan dalam hal selera dan budaya, yang erat kaitannya dengan andil media massa baik elektronik maupun cetak untuk menginjeksikan globalisasi ke seantero dunia.
            Bagi kultur masyarakat Indonesia pada umumnya, globalisasi membawa dampak langsung baik positif maupun negatif. Secara positif, globalisasi yang dicorongkan media massa memungkinkan kemudahan arus informasi bagi masyarakat. Peristiwa-peristiwa di berbagai belahan dunia dengan cepat dapat kita ketahui. Akan tetapi secara negatif, globalisasi dapat diinterpretasikan sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang dampaknya memunculkan perasaan inferior dari bangsa-bangsa di luar negara adikuasa.

INFERIORITAS = KEMINDERAN
            Inferioritas ini seringkali muncul dalam berbagai bentuk, yang entah disadari ataupun tidak. Misalnya saja kalau kita mengamati acara Empat Mata-nya Thukul Arwana di TV7. Dalam tiap penampilannya, selalu bila Thukul ditanya oleh bintang tamunya : ”Lha kalau Mas Thukul ini, aslinya darimana?” Pasti jawabannya : ”Lho, nggak tau to. Saya kan dari Eropa. Mosok nggak bisa liat, sih”. Maka geer.. penonton pun menyambutnya dengan tawa. Walaupun pernyataan Thukul ini hanyalah guyon, tetapi seolah ada implikasi yang secara common sense dimiliki oleh Thukul, yaitu adanya ungkapan keminderan. Apa yang dinyatakan Thukul tersebut bisa jadi bukan sekadar ekspresi individu tetapi barangkali bisa dianggap mewakili ”Thukul-Thukul” yang lain atas ”ketidak-cakepan” dirinya. Lalu apa hubungannya dengan globalisasi?
            Globalisasi yang menghasilkan homogenitas kultural, rupanya turut menyetir standar yang diberlakukan secara hegemonik ke segenap penjuru. Standar cantik dan tampan, tak luput dari globalisasi. Hanya mereka yang putih, tinggi-besar, dan atletis-lah yang berhak disebut tampan/ cakep. Mereka yang berkulit sawo matang, pendek, gemuk atau terlalu kurus, tentu harus rela tersingkir dari percaturan cowok cakep. Demikian pula dengan standar cantik bagi perempuan. Hanya mereka yang berbadan langsing, semampai, kulit putih dan berambut lurus-lah yang dianggap layak disebut sebagai orang yang cantik. Diluar itu, silakan sakit hati menerima stigma sebagai perempuan kurang (atau bahkan tidak) cantik.
            Sebagai perpanjangan tangan dari Kapitalisme, globalisasi menimbulkan kesenjangan sosial yang makin melebar antara si kaya dan miskin, padahal nilai-nilai konsumerisme diinjeksikan demikian dahsyat demi suksesnya globalisasi tersebut. Maka tak heran, benda-benda konsumsi yang mencirikan gaya hidup global yang mengangkat gengsi, harganya menjadi sangat mahal. Bila demikian, apakah kemudian si miskin tidak terpengaruh oleh globalisasi?
            Sebagai suatu injeksi budaya, globalisasi mempunyai kemampuan yang sangat dahsyat untuk membujuk siapapun dalam perangkapnya, tanpa memandang status sosial maupun ekonomi seseorang. Ketidakmampuan secara ekonomis, tidak mampu menghalangi masuknya globalisasi dalam setiap lini kehidupan, termasuk bagi si miskin. Karena ketiadaan kemampuan daya beli yang tinggi sementara keinginan untuk mencukupi rasa gengsi demikian tak tertahan, muncullah hibridisasi atau bahkan piracy terhadap produk-produk yang dianggap mencerminkan gaya hidup global. Contohnya produk Kentucku Fried Chicken yang memplesetkan Ketucky Fried Chicken. Atau lingerie berupa BH merk Trampil sebagai plesetan BH Triumph. Dalam hal ini, etos orang Indonesia yang gemar dipuji dandanannya tentu turut menyukseskan arus globalisasi di Indonesia.
Walaupun ada ”jasa-jasa besar” dari globalisasi semisal yang terkait dengan kecepatan arus informasi, tetapi jangan sampai kita minder sebagai entitas bangsa yang berbudaya. Globalisasi harus disikapi dengan bijak dan diambil sisi positifnya, agar tidak berujung pada kemunduran , suatu paradoks yang niscaya dapat terjadi sebagai akibat globalisasi!