Jumat, 14 Juni 2013

Telpon Pertama Nada



Para pembaca tercinta... ini tulisan saya sekitar 7 tahun lalu. Saat itu Nada anak saya, masih TK nol besar dan ini adalah catatan saya tentang momen pertama Nada belajar bertelepon. Waktu itu masih memakai telpon kabel (Telkom) karena harga pulsa HP masih mahal. Coba deh dibaca, rasanya lucu sekali... :-)


            Nada (6 tahun), seorang anak Taman Kanak-kanak (TK) B. Di suatu sore sepulang sekolah tampak sibuk mengaduk-aduk isi tas sekolahnya. Mulutnya pun sibuk menerangkan bahwa dia tengah mencari sesuatu. Nada pulang sore karena bersekolah di sebuah TKIT (TK Islam Terpadu ) Full Day. Masuk jam 8 pagi dan bubar jam 14.30 WIB. Kepenatan sama sekali tidak tampak dari wajahnya yang mungil. Sebaliknya, dengan penuh semangat dia masih juga berceloteh. Kini tangannya tak sekedar mengaduk-aduk isi tas, tetapi mengeluarkan isinya satu-persatu : Baju seragam kotor yang dipakainya tadi pagi, parfum anak-anak, dan terakhir tampaklah sobekan-sobekan kertas.
            “Ini dia !” serunya bersemangat. “Umi, ini nomer telpon mbak Salma dan mbak Intan. Tadi di sekolah aku diberi. Katanya aku disuruh nelpon.” Salma dan Intan adalah nama teman-teman perempuan di kelasnya.
            Matanya membola penuh harap. Ujarnya, “Boleh ya Mi, aku nelpon mereka?” Nada memandang uminya, yang tak lain adalah aku.
            ”Coba umi periksa dulu. Kalau nomer hand phone tidak boleh. Harus nomer rumah,” kataku. Kulihat dua nomer itu. Yang satu ber-awalan angka 7-sekian-sekian, dan yang satunya berawalan 081-sekian-sekian.
            ”Yang ini nomer siapa?” tanyaku menunjuk kertas yang bertuliskan angka berkepala 7.
            ” Punya mbak Salma”, kata Nada.
            ”Kalau nelpon nomer rumah pakai telpon rumah kita tu lebih murah. Kalau yang punya mbak Intan ini nomer hand phone, kalau kita telpon harganya lebih mahal. Kamu boleh nelpon mbak Salma”, kataku. ”Ayo, coba sendiri”.
            Sambil tersenyum-senyum gembira, Nada mendekat ke rak kayu tempat telpon dipasang. Posisi pesawat telpon ditempel vertikal, dan agak terlalu tinggi bagi jangkauan tangannya yang mungil. Dari awal, telpon tersebut memang dipasang agak tinggi agar jauh dari jangkauan anak-anak, agar tidak dibuat mainan. Tetapi dalam kondisi hari itu, rasanya aku agak menyesal mengapa telpon itu dipasang terlalu tinggi. Momen bertelepon ini sungguh istimewa karena ini adalah kali pertama dia bertelepon beneran. Biasanya Cuma main-main saja. Aku merasa beruntung mendapat kesempatan ini.
            Gagang telpon telah mantap dalam pegangan Nada. Matanya berganti-ganti dari melihat tombol-tombol telpon ke kertas yang ada di hadapannya. Kakinya berjinjit-jinjit, dan jari-jarinya berusaha menekan nomer-nomer satu persatu. Mulutnya sibuk menggumamkan angka-angka. Tetapi apa mau dikata, karena tenggang pemencetan dari satu tombol ke tombol berikutnya terlalu jauh, nomer yang dituju tidak nyambung.
            ”Kok nggak bisa, ” katanya. Matanya memelas. ”Gimana, mi”.
            Aku pun jadi tidak tega. Kudekati dirinya, dan segera kupencetkan deretan angka itu untuknya. Sebelum terdengar nada panggil, gagang telpon cepat kuangsurkan ke anak kecil itu.
            “Halo?” serunya. “Nyambung, mi”, senyumnya lebar.
            “Halo, ini siapa?” Mendengar ucapan itu aku jadi tersenyum kecut, pasti Nada belum tahu bahwa seharusnya dia tidak mengawali kalimatnya seperti itu. Sayup-sayup kudengar suara di seberang sana.
            “Ini ibunya mbak Salma” (Oh, pasti yang sedang ditelepon maklum kalau yang menelpon teman anaknya). “Ini siapa, ya?”
            “Ini mbak Nada, Mbak Salma ada?” kata Nada. Terdengar jawaban mengiyakan, sesaat Nada terdiam menunggu.
            “Halo! Siapa ini?” Ada suara cempreng sayup terdengar. Itu pasti Salma. Nada melonjak gembira. Nada dan Salma setiap hari bertemu. Tetapi sepertinya Nada terpesona dengan suara Salma yang didengarnya lewat telpon. Ini adalah kali pertamanya mendengar suara Salma secara tidak langsung.
            “Halo! Aku Nada...mbak Salma tadi udah ke rumah mas Uzan?” tanya Nada.
            “Belom...” jawab Salma.
            “Oo... ya udah kalo gitu. Udah ya, assalamualaikum...” tanpa kuduga Nada menyudahi aktivitas berteleponnya.
            ”Lho, kok udah?” tanyaku.
            ”He’eh, soalnya aku belum ada ide. Nanti kalo aku udah punya ide, boleh ngga telpon mbak Salma lagi?” tanyanya.
            “Boleh”, jawabku singkat. Aku tahu yang dia maksud dengan “ide” adalah jika Nada punya bahan lagi untuk dapat ditelponkan kepada Salma.

            Teknologi telpon adalah teknologi yang sangat menakjubkan. Dengan alat itu, jarak yang seberapa jauhnya dapat terhubungkan dalam waktu yang bersamaan. Bagi orang dewasa, bertelpon adalah kebutuhan sekaligus sebagai gaya hidup. Tetapi bagi anak-anak, bertelepon adalah cara mereka untuk menjadi orang dewasa. Anak-anak seringkali iri dengan orang dewasa karena orang dewasa memiliki kemandirian, boleh melakukan ini-itu tanpa banyak larangan. Bertelepon secara serius adalah upaya untuk meyakinkan bahwa mereka punya hak untuk diberi kepercayaan, sekaligus sebagai sarana untuk bersenang-senang seperti orang dewasa (dalam bayangan mereka).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar